Ola! Ini masuk semester kedua gue lanjut kuliah, biologi konservasi UI. Minggu lalu pertemuan pertama semester genap ini dan gue menemui dosen asyik, Pak Effendy sang dosen managemen konservasi, yg bikin gue feeling so lucky to get this class. Beliau dosen LB (luar biasa) yg artinya dosen luar, honorer, bukan dosen tetapnya UI, dan beliau sudah di masa purnabakti(pensiun)nya. Nah di pertemuan pertama (10/2/2016), beliau sudah membuat mata gue berbinar-binar dgn meminjamkan buku-buku kerennya yg bebas dipilih buat dibaca sebagai tugas untuk presentasi dan diskusi reading. Beliau juga cerita loh, beliau kerja di hutan harapan REKI (restorasi ekosistem Indonesia) punyanya Burung Indonesia, Birdlife International, dan RSPB (Royal Society for the Protection of Birds). Hutan harapan itu adanya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Pak Effendy ini presiden direktur di sana dan beliau membolehkan kami main ke sana yeyeyeyeyeyeayy! Kelas gue merencanakan main ke sana pas long weekend di bulan Mei nanti hehe.
Back to judul post ini, sebenernya ini judul tugas reading gue. Jadi gue memilih pinjam buku Pak Effendy yg berjudul Fauna Karst dan Gua Maros, Sulawesi Selatan terbitan LIPI Press tahun 2012. Buku itu karyanya Yayuk R.Suhardjono dkk yg ngebahas hasil penelitian fauna di kawasan karst yg terkenal di dunia. Ituloh di Pulau Sulawesi, namanya Maros. Fauna yg dibahas dalam buku ada kelelawar, tikus, serangga, dan yg menarik hati gue adalah IKAN GUA! Jadilah gue membaca bab ikan gua yg ada di halaman 89-101nya untuk bahan presentasi dan diskusi reading gue. Bahasan gue persempit cuma ke jenis-jenis ikan gua yg cuma ada di Sulawesi alias jenis ikan gua endemik. Berikut ini hasil bacaan gue, well, lemme share what I've got from this good book. Semoga bermanfaat ;)
IKAN GUA ENDEMIK SULAWESI DI MAROS
Indonesia memiliki kawasan karst yang luas, salah satu yang
terkenal adalah Maros di Sulawesi Selatan. Maros memiliki gua-gua dengan sungai
bawah tanahnya. Ada ikan yang hidup di perairan bawah tanah itu. Hasil dari penelitian
ikan gua Maros oleh LIPI (2006-2007) dan ARCBC (2001-2003) yaitu tercatatnya 29
jenis ikan gua dan beberapa di antaranya endemik Sulawesi.
Ikan gua adalah ikan yang hidupnya terisolasi dan semi
terisolasi di dalam gua. Ada dua hipotesis munculnya ikan gua, yaitu:
1. proses aktif, ikan mencari lingkungan yang lebih nyaman.
Ikan masuk lebih dalam dan menetap di dalam gua.
2. proses pasif, mulut gua runtuh sehingga ikan terperangkap
di dalam gua dan harus beradaptasi.
Hal yang menarik dari ikan gua ada pada adaptasinya. Oleh
karena hidup di gua yang gelap gulita, ikan gua mengalami penurunan fungsi
mata, pemudaran warna tubuh, dan perubahan organ perasa. Bahkan warna yang
memudar membuat beberapa ikan gua dapat memiliki tubuh yang transparan sehingga
dapat terlihat organ dalamnya.
Catatan pertama kali tentang ikan gua berasal dari Cina.
Menurut buku kuno, ikan gua tersebut ditemukan di gua Alugu (Yunnan) pada abad
ke-16 dan ditandai oleh prasasti Dinasti Ming di mulut guanya. Ikan gua
tersebut diduga Sinocyclocheilus hyalinus,
tetapi tanpa ada spesimen. Ikan gua pertama yang diakui secara ilmiah adalah
ikan buta dari suku Cyprinodontidae yang ditemukan di Amerika Serikat. Penemuan
itu dipublikasikan pada 1842.
Untuk ikan gua wilayah ASEAN, sudah umum dilakukan
penelitiannya di Thailand, Vietnam, Laos, dan Malaysia. Thailand memiliki lima
publikasi dengan hasil delapan jenis baru ikan gua. Ikan gua jenis baru di
Malaysia dipublikasikan pada 1990 dengan nama Sundoreonectes tiomanesis oleh
Kottelat.
Di Indonesia, pertama kali publikasi ikan gua oleh Max Weber
dan de Beaufort (1916). Ikan Jeler (Nemacheilus fasciatus) dan ikan Wader
(Puntius microps) yang dilaporkan oleh kedua orang Belanda tersebut dari
kawasan Pegunungan Sewu, Jawa Tengah. Ikan Wader dilindungi UU No.7 Tahun 1999.
Ikan gua di Maros pernah dilakukan oleh ahli gua Perancis
pada 1986 dalam The French Thai-Maros Expedition. Sayangnya, data penelitian
berupa spesimen yang diberikan ke Dr.Doug Hoese (Australian Museum) sampai
sekarang tidak diketahui kelanjutannya.
Penelitian ikan gua masih jarang dikarenakan kendala alat dan
dibutuhkan keahlian khusus. Budiharjo pernah meneliti ikan Gua Serpeng
(Pegunungan sewu, Jawa Tengah) pada tahun 2001 tetapi belum mendeskripsikannya.
Tahun 2004 akhir, ditemukan satu jenis ikan gua baru di Pulau Tioman (pulau
kecil di atas Sulawesi). Ikan itu diberi nama Grammonus thielei oleh Nielsen
dan Cohen. Publikasi terakhir ikan gua Indonesia yaitu penelitian di Pulau Muna
pada 2007 oleh Dr. Stefan Eberhard, Franck Brehier, dan Bernard Villanova dalam
ekspedisi karst pimpinan Dr. Louis Deharveng. Ikan gua itu jenis baru dan
diberi nama Diancistrus typhlops oleh Nielsen, Schwarzans, dan Hardiaty pada
2009.
Tidak semua gua dengan sistem perairan memiliki ikan gua.
Habitat ikan gua bermacam-macam, yaitu 1) aliran sungai, baik masuk ke maupun
keluar dari gua, 2) gua banyak air tanpa terlihat alirannya, sungai bawah
tanah, 3) genangan air, dan 4) danau puluhan hingga ratusan meter di bawah
permukaan tanah. Dasar perairannya ada yang berupa padas, pasir halus, bebatuan
berlumpur, kerikil, atau lumpur. Meskipun berbeda-beda, tetapi umumnya suhu
airnya sama 18-240C.
Maros adalah wilayah pesisir dengan sebagian wilayahnya
pegunungan. Umumnya, sungai-sungai di Maros jernih, berbatu, dan beraliran
deras. Kondisi lingkungan seperti ini memberi keanekaragaman habitat ikan.
Untuk menangkap ikan gua dibutuhkan jala, jaring, serok,
setrum (electrofishing), seine net, peralatan selam, kantung specimen, dan alat
penerangan. Penggunaan alat-alat itu disesuaikan dengan kondisi perairan gua.
Kemampuan menyelam puluhan meter juga dibutuhkan.
Untuk dokumentasi, sebaiknya ikan difoto saat hidup agar
warna tidak terpengaruh zat pengawet. Sebelum diawetkan, biasanya ikan
difiksasi dengan formalin 4-10% agar mudah diidetifikasi nantinya di
laboratorium. Perendaman ikan saat fiksasi harus horizontal agar tubuh ikan
lurus, tidak bengkok. Setelah difiksasi, saat di laboratorium ikan harus
dibersihkan dari formalin dengn direndam air beberapa lama. Setelah itu baru
diawetkan dalam botol dengan direndam alcohol 70%.
Saat identifikasi ikan, data yang diperlukan adalah sebagai
berikut:

Klasifikais ikan mengikuti Nelson (1994) dengan menggunakan
beberapa buku, antara lain Kottelat dan Whitten (1996), Karnasuta (1993), dan
Brembach (1991). Selain itu, web Catalog of Fishes (Eschmeyer dan Fricke, 2011)
dan web Fishbase juga digunakan.
Penelitian ikan gua di Maros ini mendapatkan 29 jenis. Dari
jumlah tersebut, hanya 8 jenis yang dinyatakan sebagai jenis endemik.
Selebihnya jenis umum dan introduksi. Namun ada satu jenis yakni Mugilogobius sp. yang statusnya tidak
tercantum dalam buku ini.
Berikut ini kedelapan jenis ikan gua endemik tersebut:
1. Bostrychus sp.
dengan bentuk pipih datar memanjang dan sirip perutnya terpisah. Sisik dan
matanya sangat kecil. Ikan yang belum ada nama Indonesianya ini ditemukan di
Gua Saripa. Jenis ini masih belum ada kepastian sejenis atau tidaknya dengan
B.microphthalmus dari Gua Tanette karena aliran air gua-gua ini belum diketahu
dari sungai bawah tanah yang sama atau tidak. Habitatnya berupa sungai atau
danau bawah tanah berair jernih dan tidak bearus.
2. Marosatherina
ladigesi (Ahl, 1936) endemik Sulawesi dengan bentuk pipih menyamping dan
berukuran relative kecil. Jantan dari jenis Ikan Pelangi Maros ini dapat
mengembangkan kedua sirip punggung dan sirip analnya untuk menjaga teritorinya.
Ikan gua ini juga dikenal sebagai Beseng-beseng dalam Bahasa lokal Maros.
Beseng-beseng ada dimorfismenya, jantan lebih cantik daripada betina. Karena
warnanya, ikan gua ini biasa dijadikan ikan hias, bahkan menjadi logo Pengusaha
Ikan Hias Indonesia (PIHI). Ikan gua ini ditemukan di sungai Ta’deang,
Patunuang, Leang-leang, Tampala, Manrepo, dan Rumbia. Habitatnya berupa sungai
berbatu, beraliran deras, dan jernih.
3. Lagusia micracanthus
(Bleeker, 1860) endemik Sulawesi Selatan dengan bentuk agak membulat, bermulut
kecil, dan bergigi lekuk tiga atau bergerigi. Sisik pada gurat sisi 38-42,
sirip punggung dengan 12-13 jari-jari keras. Ikan gua yang juga tanpa nama
Indonesia ini ditemukan di Sungai Kasikebo, Pattunuang, Saripa, Ta’deang, dan
Leang-leang. Habitatnya berupa sungai berbatu, beraliran deras, dan jernih.
4. Oryzias celebensis (Weber,
1894) endemik Sulawesi dengan bentuk ramping, pipih ke samping, dan berukuran
kecil. Sirip punggung jauh di belakang dekat sirip ekor dan sirip analnya
panjang menjadi ciri khas ikan gua ini.
Sirip ekornya dengan pola warna hitam tiga garis yang berawal dari tengah pangkal
ekor. Pada jantan, sirip-siripnya lebih panjang. Ikan gua ini ditemukan di
Sungai Kasikebo, Patunuang, Malarunan, Salomatie, Lapisin, Leang-leang,
Tampala, Jenai, Manrepo, Rumbi, dan Garantiga. Habitatnya di tepi sungai air
jernih, berbatu, beraliran deras.
5. Dermogenys
orientalis (Weber, 1894) endemik dengan tubuh gilig panjang seperti
julung-julung. Bagian belakang tubuhnya terdapat sebuah garis. Rahang bawahnya
lebih panjang dari rahang atasnya, sekitar setengah sampai tiga perempat
lebihnya. Tinggi badannya lebih dari setengah panjang standarnya dan ikan gua
ini bervariasi warnanya. Ikan gua ini ditemukan di hampir semua perairan Maros.
Habitatnya di sungai jernih beraliran tenang, biasanya dekat tanaman air.
6. Nomorhamphus
brembachi (Vogt, 1978) endemik Sulawesi Selatan yang berkerabat dengan
julung-julung, tergolong ikan kecil, tubuhnya memanjang, rahang bawahnya lebih
panjang daripada rahang atas, dan mempunyai sedikit tambahan paruh yang
melengkung ke bawah. Ditemukan di Sungai Londrong dekat Gua Londrong.
Habitatnya sungai berbatu, beraliran deras, dan jernih.
7. Nomorhamphus liemi
(Vogt, 1978) endemik Sulawesi Selatan juga, dengan tepi siripnya hitam dan pada
jantan terdapat tonjolan daging di rahang bawahnya. Seperti N.brembachi, N.liemi ini juga memiliki paruh di rahang bawah. Paruhnya sedikit
memanjang. Ditemukan di Sungai Pattunuang. Habitatnya sungai berbatu, beraliran
deras, dan jernih.
8. Nomorhamphus sp.
endemik Maros yang semua siripnya hitam atau bertepi hitam. Sama seperti N.liemi, memiliki tonjolan daging di
rahang bawah jantan. Diremukan di Sungai Abbalu. Habitatnya sungai berbatu,
beraliran deras, dan jernih.
((sumber semua foto: moto langsung dari bukunya hehe))
No comments:
Post a Comment